Indonesia dengan segala elemen kemajemukannya ternyata memiliki banyak Pahlawan Nasional berlatar belakang seorang santri. Namun ironisnya tak banyak warga Indonesia yang mengetahui mereka. Hal ini dikarenakan sosialisasi pendidikan yang tidak merata. Selain itu, hal yang paling menentukan adalah karena pembelokan sejarah yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Pada masa Orde Baru sebagian nama dari pahlawan yang berjasa bagi Indonesia sengaja dihilangkan dari kurikulum pendidikan dan aliran literasi yang berkembang di masyarakat. Hal ini tentunya membuat murid-murid atau para penerus bangsa tidak pernah tahu dengan para pahlawan yang berjasa bagi Indonesia. Namun di era kekinian saat ini dimana informasi bisa kita dapatkan dari mana saja belajar sejarah pun akan lebih mudah dan beragam.
Seperti mengetahui bagaimana jejak-jejak para pahlawan nasional yang terlahir dari lingkungan pendidikan islam atau yang sering kita kenal dengan pesantren berikut ini. Mulai dari kisah KH Wahid Hasyim yang terus berjuang agar ilmu agama dengan ilmu lainnya tetap seimbang dan saling menguatkan kehidupan masyarakat. Hingga kisah KH Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah yang kini telah menjadi salah satu organisasi islam paling besar di Indonesia. Berikut adalah Kisah Lima Santri yang menjadi pahlawan nasional dan berjasa besar bagi Indonesia:
KH Wahid Hasyim
Awal mula tradisi pendirian madrasah di pesantren mulai ada semenjak KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia (Menag). Dia merupakan Menag yang pertama pasca Indonesia merdeka 20 Desember 1949. Di usia kemerdekaan yang masih sangat ranum, ia melakukan pembaruan pendidikan agama Islam melalui Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1950, yang menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah dan memberi pelajaran agama di sekolah umum negeri maupun swasta.
Semenjak saat itu pesantren semakin berani membuka ruang bagi hadirnya pembaharuan kelembagaan atas masuknya fasilitas-fasilitas pendidikannya berciri pendidikan umum. Seperti Pesantren Tebuireng Jombang yang menjadi pesantren pertama yang mendirikan jenjang pendidikan setara SMP dan SMA.
Belakangan upayanya berbuah tumbuhnya di berbagai kota Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang sekarang berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berubah wujud menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
KH. A. Wahid Hasyim kerap mengutip hadist, "Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal." Melalui gagasan KH Wahid Hasyim tersebut, beberapa pesantren berlomba-lomba untuk menyatukan ajaran pendidikan formal dengan pendidikan pesantren. Dalam konsep ini sama halnya dengan model pendidikan karantina. Para siswa tidak pulang pergi ke rumahnya dengan seenaknya sendiri, sepulang sekolah mereka harus mengikuti rutinitas pondok pesantren.
Wahid Hasyim memiliki wacananya bahwa Umat Islam seharusnya memposisikan dirinya terhadap kelompok lain (non muslim) dengan memperlakukan orang lain dengan rasa hormat dan empati. Baginya kedudukan masing-masing warga negara berada pada posisi yang setara. Dia kerap memperjuangkan agar negara hadir di saat warga negara butuh mendapatkan haknya.
Sikapnya moderat, penuh toleransi, dan plural. Dia kerap menjembatani kontradiksi antar umat yang beda agama dengan caranya yang dingin. Wahid Hasyim memang dilahirkan dari kultur pesantren. Meski begitu, karena kegemarannya membaca, pengetahuannya tak terbatas tembok pesantren.
"Kemajuan otak yang tidak disertai dengan kemajuan budi pekerti atau takwa telah menyebabkan nilai dan pandangan manusia berubah banyak" kata Wahid Hasyim dikutip dari buku Sejarah Hidup, H Aboebakar.
KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868, beliau diberi nama masa kecil dengan sebutan Muhammad Darwis. Dia merupakan anak seorang khatib, Kiai Haji Abubakar bin Kiai Sulaiman. Ibunya adalah Siti Aminah Binti Kiai Haji Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta.
Selang beberapa saat setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqih, dan tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia pergi ke Makkah tahun 1890 dimana ia belajar selama setahun. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Dalam kesempatan itu seorang gurunya bernama Sayyid Bakri Syatha memberikan nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan dikenal telah membawa pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam, yang semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah. Di sisi lain dia juga memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah agama atau madrasah. Selain itu pula, Ahmad Dahlan telah lakukan gerak perubahan dalam metode pengajaran yang lebih bervariasi. Keempat, Ahmad Dahlan telah mengajarkan sikap hidup yang terbuka dan toleran.
Menurutnya pendidikan harus segaris dengan gerak perubahan jaman. Ahmad Dahlan senantiasa memberi penjelasan bahwa setiap manusia yang hidup pada nantinya tidak hanya bertanggung jawab pada tuhannya. Lebih dari itu dia juga bertanggung jawab terhadap sesamanya.
"Kebenaran dan kesalehan ialah kesediaan memperjuangkan kesejahteraan seluruh manusia, tidak terbatas golongannya sendiri," kata Ahmad Dahlan, dikutip dari Abdul Munir Mulkhan dalam kumpulan makalah & Presentasi berjudul, Karakter PemikiranIslam KHA Dahlan.
Pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah terutama untuk mendalami ilmu agama. Gerakan Muhammadiyah menggerakkan sendi-sendi keislaman di tanah air dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lilalamin.
Gerakan Islam, Dawah Amar Maruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Belakangan diketahui aset Muhammadiyah terdiri dari aset imateriil berupa kader dan simpatisan. Sedangkan aset materiil berupa yang memiliki nilai ekonomi, beberapa di antaranya rumah sakit, perguruan tinggi, sekolah, kantor, dan sebagainya.
KH Hasyim Asy'ari
Seorang Kiai terkemuka, Abdurrahman Masud menyebut Hasyim Asyari sebagai 'Master Plan Pesantren. Hal tersebut lantaran latar belakang Hasyim Asy'ari berasal dari keluarga santri dan hidup di pesantren sejak lahir. Dia juga dididik dan tumbuh berkembang di lingkungan pesantren. Dia lahir di desa Gedang, wilayah timur Jombang pada tanggal 24 Dzulqodah 1287 H silam, bertepatan dengan 14 Februari 1871 M.
Asyari merupakan nama ayahnya yang berasal dari Demak dan juga pendiri pesantren keras di Jombang. Asy'ari dianggap sebagai guru dan dijuluki 'Hadratus Syekh' yang berarti Maha Guru
Kebangkitan besar golongan ulama yang menggunakan Nadlatul Ulama (NU) sebagai wadah pergerakan, tidak dapat dilepaskan dari peran KH. Hasyim Asyari. Beliau berkeyakinan, bahwa tanpa persatuan dan kebangkitan ulama, terbuka kesempatan bagi pihak lain untuk mengadu domba.
Baginya NU bertujuan untuk menyatukan kekuatan Islam dengan kaum ulama sebagai wadah untuk menjalankan tugas peran yang tidak hanya terbatas dalam bidang kepesantrenan dan ritual keagamaan belaka. Lebih dari itu, NU setidaknya juga fokus pada masalah sosial, ekonomi maupun persoalan kemasyarakatan
Dalam bidang pendidikan, perjuangannya diawali dengan mendirikan pesantren di daerah Tebuireng, daerah terpencil dan masih dipenuhi kemaksiatan. Berkat kegigihannya pesantren Tebuireng terus tumbuh dan berkembang serta menjadi innovator dan agent social of change masyarakat Islam tradisional di tanah tersebut.
Seperti diketahui kebanyakan orang, pesantren tersebut merupakan cikal bakal penggemblengan ulama dan tokoh-tokoh terkemuka sekaligus merupakan monumental ilmu pengetahuan dan perjuangan nasional. Hasyim yang terlibat dalam golongan klaum sarunga itu terilhami dakwah khas Wali Songo yang berhasil mengawinkan antara lokalitas budaya dengan universalitas agama (islam).
Melalui NU dia berupaya menebar benih-benih islam dalam wajah yang familiar atau muda dipahami oleh kebanyakan. Dia memilih untul menghindari pendekatan negasional dalam mencari solusi permasalahan bangsa, menurutnya pluralisme menjadi bagian jati diri bangsa.
Haji Misbach
Haji Misbach hidup dan dibesarkan di pesantren, lalu bergabung dengan organisasi politik Sarekat Islam. Organisasi tersebut rajin membuat perubahan secara kontinyu di Surakarta pada era 1876. Salah satu tokoh penggerak dalam organisasi tersebut ialah Haji Misbach. Namun ketika Sarekat Islam (SI) pecah pada 1923 menjadi SI Putih dan SI Merah, dia memilih bertendensi ke SI Merah yang dipimpin Semaoen.
Di sisi lain Misbach beranggapan bahwa Islam mengajarkan kewajiban berperang melawan para penindas. Harus ada perjuangan dalam konteks sosial dan ekonomi agar kedudukan masing-masing orang sama rata sama rasa.
Pandangannya radikal. Menurutnya ajaran komunisme merupakan wajah Islam yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Awalnya memang Misbach bersentuhan dengan dunia perlawanan ketika bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) bentukan Mas Marco Kartodikromo pada 1914. Di sana Misbach menerbitkan surat kabar 'Medan Moeslimin' di tahun 1915 dan 'Islam Bergerak' di era 1917.
Kemudian sepuluh tahun setelahnya, ia bergabung dengan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Sedangkan pada 10 Juli 1918, ia membentuk Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV). Ketika menginjak tahun kedua saat bekerja di 'Islam Bergerak' Misbach membuat kartun yang menggetarkan penguasa. Kontennya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, bersama mempekerjapaksakan mereka, memberi upah kecil, menarik pajak.
Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Tanggal 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan atas perbuatan yang sama.
Tidak kapok dipenjara, Misbach malah menegaskan rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis.
Menurut ahli sejarah Ahmad Mansyur Suryanegara, Misbach mengagumi Karl Marx dan menulis artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme.
Hingga ketika 1922, ia keluar dari Muhammadiyah. Baginya organisasi tersebut dan SI Putih merupakan wadah yang mandul. Hal tersebut karena Misbach menuding kedua organisasi itu kooperatif pada pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian pada 20 Oktober 1923, perlawanan Misbach terhadap penjajah tak berhenti, ia kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman, dan lain-lain.
Misbach mulai membicarakan tentang keadaan rakyat yang tertindas akibat ulah para kapitalis di zaman modal. Ia menyerukan kepada umat muslim untuk berani mengambil tindakan perlawanan demi menolong rakyat yang tertindas. Namun, hal yang membuat Misbach lebih merasa terusik adalah keberadaan kaum muslim munafik yang tidak mau melakukan perjuangan untuk membela rakyat.
Ia bahkan tidak segan-segan menyebutkan nama Muhammadiyah secara terang-terangan sebagai golongan munafik tersebut. Perselisihan Misbach dengan golongan Islam lamisan tersebut juga dilatarbelakangi oleh kedekatannya dengan paham komunisme.
Misbach mulai menyerang organisasi Islam yang ia nilai lamisan, di antaranya adalah Muhammadiyah dan SI di bawah pimpinan Tjokroaminoto. Dia mempersoalkan keengganan organisasi-organisasi tersebut untuk turut terjun langsung dalam dunia politik memperjuangkan nasib rakyat.
Bung Tomo
Sebermula Presiden RI Pertama Soekarno mengirim utusan kepada KH Hasyim Asyari, menanyakan bagaimana hukumnya dalam agama Islam membela tanah air dari ancaman penjajah. KH Hasyim Asyari tidak langsung menjawab, dia justru berembug terlebih dahulu dengan para Kiai. Siang itu 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan pimpinan NU di seluruh Se-Jawa dan Madura di Surabaya.
Dalam rembug Kiai tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah merupakan sebuah perang suci alias jihad, atau saat ini populer dengan istilah resolusi jihad. Setelah resolusi jihad dideklarasikan, ribuan kiai dan santri beriringan bergerak ke Surabaya.
Pada 10 November 1945 atau tepatnya dua minggu setelah resolusi jihad dikumandangkan, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan tentara pribumi dan juga warga sipil yang cuma bersenjatakan bambu runcing. Konon, ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara.
Pada 10 November 1945, pertempuran dahsyat terjadi antara pasukan kolonial dengan arek-arek Suroboyo. Pertempuran yang oleh pasukan kolonial diduga cuma berlangsung tiga hari, namun ternyata memakan waktu sampai hampir satu bulan. Puluhan ribu nyawa melayang dari kedua belah pihak. Di balik pertempuran dahsyat yang dimulai pada 10 November 1945 tersebut, kita pasti tak lupa dengan nama Sutomo, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo.
Bung Tomo memiliki andil besar dalam mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo, memompa jiwa nasionalisme lewat pidato-pidatonya yang menggugah dan memompa semangat. Justru dari pidato Bung Tomo yang membuat arek-arek Suroboyo menang ahadapi Inggris.
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara," teriakan Bung Karno yang menggetarkan Arek-arek Suroboyo kala itu. Kemudian dengan latar belakang kesantriannya, Bung Tomo menutup pidatonya dengan pekikan berkali-kali, "Allahu Akbar!"
Bung Tomo yang lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920 merupakan seorang wartawan dan aktif menulis di berbagai surat kabar dan majalah seperti harian berbahasa Jawa Ekspres, Harian Soeara Oemoem, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer dan sebagainya. Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita Pendudukan Jepang Domei, serta Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). BPRI akhirnya dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia. Bung Tomo juga kerap berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan. Pidato yang disiarkan oleh BPRI ini selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia.
Ada cerita tersendiri sebelum pidato Bung Tomo yang akhirnya menjadi pemicu perlawanan arek-arek Suroboyo terhadap tentara sekutu tersebut. Sebelum membacakan pidato yang melegenda itu, Bung Tomo terlebih dahulu sowan kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama pada saat itu. Bung Tomo izin untuk membacakan pidatonya yang merupakan manifestasi dari resolusi jihad yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama NU.
0 Response to "Lima Santri Paling Berjasa Bagi Indonesia"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.